Cari Blog Ini

Senin, 15 November 2010

Cinta tak harus berwujud bunga

Tulisan menarik dari sebuah milis .....

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangatyang muncul di hati saya ketika saya bersandar dibahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa perkenalan,dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang sayaharapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yangromantis dalam pernikahan kami, telah mementahkansemua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian."Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut. "Saya lelah,kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan." Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan sayas emakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di "dalam" hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dankita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamuakan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akanmemberikan jawabannya besok." Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan.

.."Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."kalimat pertama ini menghancurkan hati saya.

Sayamelanjutkan untuk membacanya.

"Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC dan akhirnya menangis didepan monitor, saya harus memberikan jari-jari sayas upaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya".

"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamukeluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang"."

Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata sayauntuk mengarahkanmu" .

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu temanbaikmu datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal itu".

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatirkamu akan menjadi 'aneh'. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami".

"Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agak ketika kita tua nanti saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu".

"Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasiryang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar seperti cantiknya wajahmu".

"Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambilkanbunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku".

"Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu" .

"Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu, aku tidak akan bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki dan mata lain yang dapat membahagiakanmu" .

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

"Dan sekarang, sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawabanmu".

"Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kaubahagia".

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini saya tahu, tidak ada rang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud yang lain yang tidak pernah bisa kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali kita butuhkan adalah memahami wujud cintadari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".
@Diposting oleh antonwk

Selasa, 09 November 2010

Hanya CINTA yang Bisa


Pada zaman dahulu sebuah pulau terhempas nun jauh di sana. Konon berbagai perasaan memutuskan untuk menetap di pulau terasing di tengah lautan itu. Ada KEBAHAGIAAN, ada KESEDIHAN, dan ada pula perasaan CINTA. Tidak ketinggalan, perasaan-perasaan lain pun mulai berdatangan ke pulau itu.

Kehidupan harian mereka berjalan normal sampai suatu hari mereka mendengar kabar, bahwa pulau yang sudah terlanjur mereka cintai itu segera akan tenggelam. Menurut perkiraan para ahli, gempa bumi disertai tsunami hebat akan melanda pulau itu dan menenggelamkannya. Karena itu seluruh penghuni pulau diminta segera meninggalkan tempat itu.

Demikianlah, kedamaian mulai terusik. Tampak setiap perasaan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk segera meninggalkan pulau itu. Ada yang tampak memperbaiki perahu mereka, tetapi ada juga yang membuat perahu baru karena mereka memang belum memiliki satu perahu pun.

Ketika penghuni pulau lain tampak sibuk mempersiapkan penyelamatan mereka, CINTA tampak tenang-tenang saja. Dan ketika perasaan-perasaan lain bergegas meninggalkan pulau itu bersama keuarga mereka, CINTA memutuskan untuk tetap berada di sana. ”Aku ingin bertahan di sini dan berupaya menyelamatkan pulau ini sampai titik darah penghabisan,” tekad CINTA dalam hatinya.

Ternyata benar juga prediksi para ahli itu. Di hari kelima belas, bulan kesepuluh, tahun kedua puluh sejak pulau itu didiami, sebuah gempa bumi disertai tsunami memecah keheningan malam. Terjadi goncangan amat hebat. Air mulai bergerak naik dan pulau itu pun perlahan-lahan tenggelam. Menyadari dirinya dalam bahaya, CINTA pun mulai berteriak meminta pertolongan. Mengingat penghuni pulau lainnya telah meninggalkan pulau itu, teriakan CINTA tampaknya sia-sia. Apakah CINTA akan mati tenggelam bersama pulau yang terlanjur dicintainya itu?
Tunggu dulu. Ketika gelombang tsunami mulai reda dan cinta masih bertahan hidup di sebatang pohon yang kebetulan belum ikut tenggelam, tiba-tiba ada sebuah kapal besar berlayar mendekat. ”Wah, beruntunglah aku,” gumam CINTA dalam hatinya. Aku akan segera meminta pertolongan dari kapal itu.

Ternyata kapal itu adalah milik seseorang bernama KEKAYAAN. Tampak kapal itu sangat besar dan mewah. Sambil melambaikan tangan, CINTA berteriak, katanya, ”Hei KEKAYAAN, tolonglah aku. Izinkan saya menumpang dikapalmu!”
Sambil berdiri di buritan kapal, KEKAYAAN menjawab, “Tidak, saya tidak bisa… . Ada banyak sekali emas dan perak dalam kapal ini. Maaf, tidak ada tempat buat kamu.” KEKAYAAN pun berlalu.

Tidak lama berselang lewatlah kapal lainnya di hadapan CINTA. Kali ini kapal tersebut mengangkut seorang penumpang, pemilik kapal itu sendiri. Namanya ANGKUH. Dia tampak mewah dalam kebesaran pakaiannya. Melihat si Angkuh lewat, Cinta pun berteriak, katanya, ”Hei ANGKUH, bantu aku, dong!”
“Maaf Cinta, aku tidak bisa bantu kamu. Badan kamu dalam keadaan basah semuanya sehingga kamu bisa merusak perahu saya,“ jawab si Angkuh.

CINTA tidak patah semangat karena berharap ada kapal lain yang akan membantu dia. Benar juga. Tidak lama kemudian KESEDIHAN berlayar melewati pulai yang dihuni CINTA. Mengingat kesempatannya tidak banyak lagi, CINTA pun berteriak sekeras-kerasnya, katanya, ”KESEDIHAN, tolong bantu aku, dong!”
“Oh … Cinta, saya sangat sedih karena tidak bisa menolong kamu. Saat ini saya ingin menjadi diriku sendiri dan tidak mau diganggu oleh orang lain,” jawab KESEDIHAN.
KEBAHAGIAAN juga melewati pulau itu, tetapi tidak mendengar sedikit pun suara teriakan CINTA karena dia sedang terhanyut dan tenggelam dalam kebahagiaannya sendiri.

Kali ini CINTA benar-benar putus harapan. Hari sudah mulai sore dan sudah agak lama tidak ada lagi perahu yang berlayar dekat pulau itu. ”Mungkin inilah takdirku. Aku harus menerima kenyataan bahwa kematianku tidak akan lama lagi datang. Biarlah aku mati saja di pulai ini,” kata CINTA dalam hatinya.

Dalam keadaan setengah melamun, tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan. Suara itu jelas sekali memanggil nama CINTA. “Kemarilah CINTA, kemarilah. Saya akan membawamu pergi.”

”Ada suara,” kata CINTA dalam hatinya. Suara dari seorang yang sudah lanjut usia. Menyadari bahwa dia tidak sedang bermimpi, CINTA pun melonjak kegirangan. ”Wah, keberuntungan akhirnya menghampiriku,” teriak si CINTA.

Demikianlah CINTA pun menumpang di perahu PAK TUA itu. Perlahan mereka meninggalkan pulau impian CINTA menuju sebuah daratan yang aman. Anehnya, terlanjur senang dan kegirangan karena terselamatkan dari bahaya bencana, CINTA lupa menanyakan nama PAK TUA itu. Demikianlah, ketika CINTA dan dan PAK TUA itu merapatkan perahu mereka di pantai dan menginjakkan kaki di daratan yang aman, CINTA dan PAK TUA melanjutkan perjalanan mereka ke arah yang berbeda. Beberapa saat kemudian CINTA baru menyadari bahwa dirinya lupa menanyakan nama dan alamat PAK TUA itu. Tetapi apalah daya, PAK TUA itu sudah tidak tampak batang hidungnya.

”Orang tua itu baik sekali… . Terima kasih Tuhan, Engkau sudah menolong aku dengan mengirim orang yang bisa tepat pada waktu yang tepat pula!” bisik CINTA kepada Tuhannya. Tiba-tiba CINTA sadar bahwa dia berada di sebuah pulau yang sebenarnya tidak asing bagi dia. CINTA pernah ke pulau ini ketika beberapa tahun lalu dia mengunjungi seorang sahabatnya. Nama sahabat itu PENGETAHUAN. Maka segeralah CINTA mencari PENGETAHUAN untuk menanyakan apakah dia kenal PAK TUA yang telah menyelamatkannya itu. CINTA pun bertanya kepada PENGETAHUAN, “Hai PENGETAHUAN, kamu tahu gak, siapa sih PAK TUA yang tadi membantu menyelamatkan saya?”
Sambil mengangguk-anggukkan kepala, PENGETAHUAN menjawab, katanya, “Wah CINTA, kamu beruntung banget. Orang yang menolong kamu itu memang orang baik dan sangat terkenal di pulau ini. Masyarakat di pulau ini memanggil dia WAKTU.”
“WAKTU?” tanya si Cinta. “Kira-kira mengapa WAKTU mau membantu saya?”
Mendengar itu, PENGETAHUAN pun tersenyum. Sambil menepuk pundak CINTA, PENGETAHUAN menjawab kegundahan hati sahabatnya, katanya, ”Sahabatku, hanya WAKTU yang mampu memahami seberapa besarnya CINTA itu.”

”Hanya WAKTU yang mampu memahami seberapa besarnya CINTA,” ulang CINTA dalam hatinya.

Kamis, 04 November 2010

Kasih Sayang Orang Ayah


Selamat hari Ibu!! Ya, hari ini 22 Desember 2009, Dunia memperingatinya sebagai hari ibu.. Ibu, Mama, Emak, Mami, Bunda, Umi atau apapun istilahnya harusnya menjadi sosok yang paling kita hormati, kita sayangi, mengingat begitu besarnya cinta dan kasihnya dalam merawat kita dari kita masih kecil hingga dewasa… Tak ada yang bisa kita lakukan untuk bisa membayar lunas setiap tetes keringatnya, tulus do’anya, sabar hatinya.. Saya memiliki cerita yang sungguh luar biasa tentang ibu kita… Bergetar hati saya ketika membaca cerita tentang ibu ini… Sungguh inspiratif…
Tapi kenapa disini saya tulis father’s story?? Bukankah seharusnya mother’s story?? Ya.. dihari Ibu ini, kita memang diajak untuk mengingat, mengenang, dan berterima kasih kepada Ibu kita.. Namun.. saya rasa bukan berarti kita lantas mengenyampingkan peran ayah kita..
Hmmm…Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..
Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.
Lalu bagaimana dengan Papa?
Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,
tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?
Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil……
papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda.
Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu…
Kemudian Mama bilang : “Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya” ,
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka….
Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba.
Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang”
Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.
Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.
Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja….
Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”.
Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu?
Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga..
Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…
Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama….
Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.
Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir…
Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut…
Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .
Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang?
“Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa”
Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.
Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti…
Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa
Ketika kamu menjadi gadis dewasa….
Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain…
Papa harus melepasmu di bandara.
Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu?
Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .
Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.
Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”.
Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT…kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa.
Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.
Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan…
Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : “Tidak…. Tidak bisa!”
Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu”.
Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.
Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”
Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya.
Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Papa tahu…..
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
dan akhirnya….
Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia….
Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?
Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa….
Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: “Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik….
Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik….
Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”
Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…
Dengan rambut yang telah dan semakin memutih….
Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya….
Papa telah menyelesaikan tugasnya….
Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita…
Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…
Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…
Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal..
Ya… sosok ayah yang sudah 2 tahun ini meninggalkan saya.. Yang begitu saya rindukan sosoknya.. Membaca cerita ini, ingatan saya kembali ke 20 tahun lalu, saat masih ada Papa disamping saya, yang ada untuk menguatkan saya, menasehati saya, menyayangi saya.. dan membesarkan saya… Namun satu hal yang saya sesali.. Ayah saya belum sempat melihat hasil jerih payahnya dalam membesarkan saya dan adik saya.. Tuhan telah memanggilnya terlebih dahulu..
Semoga kisah ini, bisa menginspirasi teman – teman… Berterima kasih dan berbaktilah kepada ayah dan ibumu selagi sempat.. Buatlah mereka bahagia.. selagi sempat.. Karena kita tak tahu kapan Tuhan memanggil mereka…
Baiklah… semoga cerita ini bisa menginspirasi teman – teman…
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(QS Al Lukman 13- 14)

Rabu, 03 November 2010

JEMBATAN


Alasan utama mengapa harus mengampuni adalah demi kebaikan diri sendiri.

Alkisah ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah mengapa, mereka terjebak ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah kali pertama mereka bertengkar demikian hebatnya. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan, saling meminjamkan peralatan pertanian. Keduanya pun bahu-membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerjasama yang akrab itu kini retak.
Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele,  kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar, dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki.Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.
Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk pintu rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu. “Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan,” kata pria itu dengan ramah. “Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan.”
“Oh ya!” jawab sang kakak. “Saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan bulldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami.”
Sang kakak masih melanjutnya, “Hmm, barangkali adikku melakukan itu untuk mengejekku, Tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya.”
Kata tukang kayu itu, “Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan aku kerjakan sesuatu yang bisa membuat tuan merasa senang.”
Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu. Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya.
Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi. Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar. “Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku?” kata sang
adik pada kakaknya.
Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan. Keduanya saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi. “Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu,” pinta sang kakak.
“Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini,” jawab tukang kayu, “tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan.”
Kedua kakak beradik itu pun mengangguk setuju. Dengan mata berkaca-kaca kedua kakak beradik itu melihat sang tukang kayu beranjak pergi, menjauh, dan perlahan tak kelihatan lagi.
Moral Story
Tuhan selalu ingin bersama kita. Dalam damai sejahtera Ia selalu ingin mempersatukan hati kita. Dia selalu ingin kita mengasihi sesama kita, saudara kita, dan siapa pun juga. Tuhan memang menginginkan agar kita saling mengasihi sesama kita, saudara kita. Apakah kita sungguh yakin dan percaya bahwa Dia adalah yang mempersatukan kita, dan menumbuhkan rasa saling cinta dalam diri untuk mengasihi sesama kita.

Senin, 01 November 2010

MENERIMA TANPA SYARAT

Mungkin terlalu sering kita berbicara mengenai menerima orang lain apa adanya sampai kita sendiri lupa bagaimana mempraktikkan apa yang kita omongkan.

Ternyata tidak mudah menerima orang lain apa adanya, apalagi keadaan orang lain itu jauh dari yang kita bayangkan. Apakah kita sanggup menerima orang yang dikelompokkan sebagai miskin, gelandangan, pengemis, ketika de facto mereka berada di hadapan kita? Ketika de facto mereka mengetuk hati kita, menatap mata kita dan meminta belas kasihan? Seorang ibu memiliki pengalaman amat unik yang ingin dia bagikan ke kita. Saya menerjemahkannya secara bebas untuk rekan-rekan pembaca.

Aku seorang ibu dari tiga orang anak. Panggil saja aku Lea. Selain sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keperluan sehari-hari suamiku Toni, putra tertuaku Kevin (14 tahun), Sander (12 tahun), dan putriku Charlote (3 tahun), aku diizinkan suamiku untuk melanjutkan kuliah S-1 yang nyaris selesai sebelum kami menikah. Syukur kepada Tuhan, baru beberapa bulan lalu aku menyelesaikan studi Strata Satu Sosiologi di sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini.

Bagiku pengalaman selama kuliah selalu menjadi momen pembelajaran yang sungguh luar biasa. Saya selalu mengenang tantangan yang diberikan dosen sosiologi, Bapak Patrick, yang pada masa saya kuliah Beliau sedang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “proyek senyum”. Apakah proyek ini sebenarnya? Suatu hari Pak Patrick menugaskan kami sekelas untuk menjalankan proyek ini dengan instruksi bahwa kami harus bertemu dengan paling kurang tiga orang, memberikan senyuman kepada mereka, dan kemudian mencatat apa reaksi mereka terhadap senyuman kami. Karena saya seorang yang ramah dan murah senyum, saya pikir tugas ini tidak akan sulit saya laksanakan.
Segera setelah kuliah usai, saya bergegas menuju ke rumah kami yang jaraknya tidak lebih dari 30 menit naik kendaraan umum dari depan kampus. Keesokan harinya, ketika saya, suami dan ketiga anak-anak kami sedang berjalan santai ke salah satu pusat perbelanjaan, saya pikir bagus juga kalau hari itu saya merealisasikan “proyek senyum” tersebut. Ketika saya menanyakan hal itu ke suamiku, dia mengiyakan, bahkan suami bersedia merekam apa reaksi orang terhadap senyumanku kepada mereka. Kami memutuskan untuk merealisasikan “proyek senyum” ini ketika kami akan makan siang di sebuah restoran cepat saji di ujung jalan itu.

Kami sekeluarga segera memasuki restoran asal negeri Paman Sam tersebut dan langsung antri. Ternyata sudah banyak orang yang mengantri menunggu giliran dilayani. Ketika kami mulai mendekati tempat pelayan restoran, tiba-tiba saya melihat orang-orang yang berbaris di belakangku, termasuk suamiku, berbalik badan dan bergerak menjauhi antrian. “Ada apa sih? Koq pada bubar semua?” Tiba-tiba saja ketika mata saya mengamati pergerakan orang-orang yang meninggalkan antrian, saya mencium bau badan yang sangat tajam, seperti bau orang yang lama tidak mandi. “Huum, bau apakah itu?” selidikku dalam hati. Betapa terkejutnya saya ketika melihat persis di belakangku dua anak jalanan dengan pakaian yang sangat kotor dan menjijikkan. Rupanya bau badan kedua bocah ini yang telah “mengusir” sebagian pengunjung restoran cepat saji itu. Ketika mataku menatap bocah yang lebih pendek dan yang paling dekat denganku, anak laki-laki itu tersenyum kepadaku. Aku melihat betapa matanya yang bening dan bersih itu seakan-akan bersinar penuh kedamaian. Mata itu begitu indah, jauh dari perasaan takut atau kegelisahan. Tampaknya hanya satu hal yang ingin dicari mata itu, agar dia diterima.

Eh, tiba-tiba perkataannya membuyarkan pikiranku, katanya, “Hari yang baik, Bu!” Sambil berkata begitu, tangannya terus memainkan beberapa keping koin yang dia genggam, sepertinya dia menghitung koin-koin tersebut. Anak muda yang masih remaja itu membawa serta seorang sahabatnya, sesama anak jalanan yang tampaknya menderita keterbelakangan mental. Praktis temannya yang sehat telah menjadi semacam penyelamat bagi hidupnya. Ke mana pun mereka selalu berdua.

Menyadari kehadiran kedua bocah jalanan itu, pelayan restoran segera menanyakan apa yang mereka inginkan. Bocah yang sehat itu berkata, “Dua gelas kopi sudah cukup bagi kami, Nona!” Hanya itu yang bisa mereka beli sekaligus mendapat kesempatan untuk menghangatkan diri dalam restoran tersebut, mengingat suhu udara sangat dingin di luar. Menyaksikan hal ini, tiba-tiba perasaan bingung dan rasa belaskasihan berkecamuk kuat dalam diriku. Hampir saja saya meraih dan memeluk kedua bocah itu ketika saya melihat reaksi ketidaksenangan orang-orang yang ada di restoran tersebut. Mereka semua sedang menatapku seakan-akan mengatakan kepada saya untuk tidak melakukan hal yang mereka anggap konyol, yakni memeluk atau sekadar membantu kedua anak jalanan ini.

Setelah menerima kopi dua gelas dan membayar dengan uang recehan yang mungkin mereka dapatkan dari mengamen atau meminta-minta, kedua bocah itu segera duduk di meja paling ujung dan mulai menikmati hangatnya kopi. Ketika giliran saya tiba untuk dilayani petugas restoran, saya meminta mereka untuk menambah dua porsi lagi di tempat terpisah selain lima porsi yang saya pesan untuk aku, suami, dan anak-anakku. Saya meminta suami membawa lima porsi untuk kami ke meja yang telah disediakan, sementara saya membawa dua porsi ekstra, berjalan perlahan ke meja di mana kedua bocah jalanan itu duduk. Setelah meletakkan dua porsi makan pagi di atas meja, saya meraih tangan bocah yang tadi menatapku, menyapanya dengan salah satu senyuman terindah dari bibirku. Kopi hangat yang nyaris selesai mereka minum ternyata tidak sanggup menghangatkan tangan kotor itu begitu dingin. Sekali lagi anak muda itu menatapku, tetapi kali ini dengan air mata yang mengalir perlahan membasahi pipinya. Dengan suara terbata-bata dia berkata kepadaku, “Mum, terima kasih!” Saya mendekatkan tubuhku ke arahnya, menggenggam erat kedua tangannya dan berkata, “Saya tidak melakukan ini untukmu…. Tuhan sedang hadir di restoran ini, dan melalui saya Dia ingin memberikan sebuah pengarapan kepada kamu.” Setelah berkata demikian, saya tidak mampu lagi menahan air mataku, dan mulai menangis. Saya pun berbalik ke meja di mana suami dan anak-anakku tidak sabaran menunggu.

Ketika saya mulai duduk di meja tempat suami dan anak-anakku berada, suamiku tersenyum kepadaku dan berkata, “Sekarang saya tahu mengapa Tuhan menghadiahkan kamu kepadaku, sayangku, supaya kamu memberi aku sebuah pengharapan.” Saya masih menghela nafas karena menahan tangis ketika suamiku mulai menggenggam tanganku. Tiba-tiba saja keheningan dan ketenangan menghampiri kami. Saat itulah aku mengerti dengan baik, bahwa Rahmat Tuhan sungguh berlimpah. Dia sudah memberikan Rahmat itu kepadaku dan keluargaku, dan kini melalui kamilah Rahmat dan pengharapan itu harus dibagikan. Itulah pengalaman cinta yang paling menawan yang boleh aku alami, yakni ketika aku melihat kehadiran-Nya dalam sorot mata dan senyum yang diberikan bocah pengemis itu. Tuhan telah menunjukkan aku jalan dan terang-Nya untuk semakin mengasihi keluarga dan orang lain sama seperti aku mengasihi diriku sendiri.

Bagaimana dengan “proyek senyum” yang diberikan dosen sosiologi kepadaku? Saya kembali keesokan harinya, dan menyerahkan kisah yang aku alami ini sebagai hasil “temuanku”. Ketika membaca kisah pengalamanku ini, dosen bertanya, “Apakah saya bisa membagikan kisah ini juga kepada teman-temanmu?” Saya mengangguk perlahan, dan dosen pun mulai membacakan apa yang saya kisahkan. Tentu teman-temanku sangat takjub dengan kisah yang saya tulis tersebut. Tetapi lebih dari itu, saya semakin mengerti bahwa sebagai manusia dan mitra Tuhan, kita semua harus berani membagikan pengalaman-pengalaman ketika kita disentuh dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dan bahwa pengalaman-pengalaman itu tidak saja menguatkan iman, tetapi juga menyembuhkan, dan memberi pengharapan akan hidup yang lebih baik. Melalui saya, Tuhan telah mengunjungi suamiku, anak-anakku, dan anak-anak jalanan yang saya jumpai di restoran cepat saji itu.

Saya lulus dengan nilai yang memuaskan, tetapi lebih dari itu, saya telah memahami sebuah “mata kuliah” yang sangat besar yang tidak akan pernah saya lupakan dalam hidupku: MENERIMA SIAPA PUN JUGA TANPA SYARAT. @by: Tidak Diketahui