Cari Blog Ini

Rabu, 29 Desember 2010

Surat Untuk Firman



Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang.

Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa.

Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan.

Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan.

Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.


Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!
@http://forum.detik.com/surat-untuk-firman-t226787.html

Rabu, 22 Desember 2010

Gubug Kecil


Cerita ini berawal dari pertemuan dengan seorang sahabat di sebuah gubuk kecil dipabrik tahu, banyak cerita n permasalahan yg qt bagi disana, untuk saat ini aq berperan sbg pendengar aja..hehehehe..soalnya lg males curhat.
dimulai dgn obrolan kecil tentang tetang sapa yg menjadi no.1, alhamdulillah bukan aq orangnya yg jd no.1 skrg krn dia lebih berat dari aq..hehehehe...obrolan yg ga penting bgt..^,^..
ceritalah dia ttg kondisi pabrik yg lagi dlm kondisi kurang baik,karene mesin uap untuk memasak tahu meledak jd tdk bs produksi slama 2minggu dan untuk beli mesin yg baru butuh biaya yg besar..tp yang aq herankan kok dia cerita smbil tersenyum ya????dan setelah aq tanya ternyata dia berpendapat itu sebuah ujian yg bakal membuat dia menjadi lebih besar n sukses,..dan itu menurutq sebuah keyakinan yg sangat baik dalam menghadapi setiap masalah n cobaan dlm hidup ini."hadapi dengan senyuman kata bang dany"...

dan tiba2 disaat saya merenung dengan curhatan dia,
Dia bertanya apa sich yg km tunggu???
aq cm bs senyum aja denger pertanyaan yg biasa aq dengar...^,^...karena pasti itu lg yg dimaksud.
seorang pasangan yg djodohkan pada qt pasti akan saling melengkapi qt, disaat qt menjadi seorang pemarah qt akan mendapat pasangan yg sabar,saat qt jorok akan dpt yg rapi n bersih,disaat qt biasa bergerak cepat n grusa grusu akan dpt yg lambat..itu semua untuk kita lebih bijak dlm bertindak n berpikir, itulah kuasa Allah untuk membentuk makhluknya menjadi lebih baik.apapun yg km kejar untuk menjadi pendamping yg ideal sperti yg km harapkan akanlan sangat sulit...

saat mendengarnya aq jd ingat sebuah kalimat di buku 'chiken soup'
"cintailah orang yg mencintaimu,karena km akan merasa berharga n dihargai oleh orang lain minimal dari dia yg mencintaimu"
tak perlu kita banyak meminta kalo dah ada yang mau memberi dgn tulus kepada kita,hal itu akan lebih membahagiakan hati qt dibanding mengejar kebahagian dari orang yg kita cintai yg belum tentu cinta dgn kita.dan hal itupun akan lebih membahagiakan dibanding dpt cinta dr orng yg kita cintai,karena kita bisa berusaha mencintai dia tp tdk bisa memaksa dia mencintai kita.

dan selarik kalimat
"menikahlah dengan orang yang km cintai dan cintailah orang yg km nikahi"
maksudnya carilah org yg km cintai untuk km nikahi bukan dengan org yg km benci atau tdk km harapkan karena km bisa mendzolimi dia n diri km sndiri, dan setelah menikah walopun bukan dengan org yg kamu harapkan tp tetaplah km harus mencintainya karena pernikahan adalah sebuah ikatan suci dimana km harus bertanggung jawab didunia maupun akherat.jadi pikirkan baik2 sebelum menikah, apapun alasanya sekarang dialah yg harus km cintai.

yach ini mungkin sedikit cerita dari gubuk kecil di pabrik tahu, memang ga terlalu banyak tp sungguh sangat mengesankan bagi saya..
terima kasih teman atas cerita n nasehat hidup yg km bagi kepadaq..semoga km menjadi imam yg baik dlm membina keluarga yg sakinah mawadah warohmah..amin..dan bisa berbagi cerita dan ceritakanlah padaq yang menurutmu bagus buat aq,sob km mang sobatq yg bisa aq andalkan..ga percuma qt berteman dr TK..hehehehe..lagi2 mengeluarkan statement yang ga penting..^,^..
dan doakan aq juga teman biar bs mendapat pendamping yg aq cintai, seorang gadis yg lebih cantik dari 7 bidadari..amin..

by. nanyo

Senin, 15 November 2010

Cinta tak harus berwujud bunga

Tulisan menarik dari sebuah milis .....

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangatyang muncul di hati saya ketika saya bersandar dibahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa perkenalan,dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang sayaharapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yangromantis dalam pernikahan kami, telah mementahkansemua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian."Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut. "Saya lelah,kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan." Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan sayas emakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di "dalam" hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dankita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamuakan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akanmemberikan jawabannya besok." Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan.

.."Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."kalimat pertama ini menghancurkan hati saya.

Sayamelanjutkan untuk membacanya.

"Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC dan akhirnya menangis didepan monitor, saya harus memberikan jari-jari sayas upaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya".

"Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamukeluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang"."

Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata sayauntuk mengarahkanmu" .

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu temanbaikmu datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal itu".

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatirkamu akan menjadi 'aneh'. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami".

"Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agak ketika kita tua nanti saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu".

"Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasiryang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar seperti cantiknya wajahmu".

"Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambilkanbunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku".

"Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu" .

"Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu, aku tidak akan bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki dan mata lain yang dapat membahagiakanmu" .

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

"Dan sekarang, sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawabanmu".

"Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kaubahagia".

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini saya tahu, tidak ada rang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud yang lain yang tidak pernah bisa kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali kita butuhkan adalah memahami wujud cintadari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".
@Diposting oleh antonwk

Selasa, 09 November 2010

Hanya CINTA yang Bisa


Pada zaman dahulu sebuah pulau terhempas nun jauh di sana. Konon berbagai perasaan memutuskan untuk menetap di pulau terasing di tengah lautan itu. Ada KEBAHAGIAAN, ada KESEDIHAN, dan ada pula perasaan CINTA. Tidak ketinggalan, perasaan-perasaan lain pun mulai berdatangan ke pulau itu.

Kehidupan harian mereka berjalan normal sampai suatu hari mereka mendengar kabar, bahwa pulau yang sudah terlanjur mereka cintai itu segera akan tenggelam. Menurut perkiraan para ahli, gempa bumi disertai tsunami hebat akan melanda pulau itu dan menenggelamkannya. Karena itu seluruh penghuni pulau diminta segera meninggalkan tempat itu.

Demikianlah, kedamaian mulai terusik. Tampak setiap perasaan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk segera meninggalkan pulau itu. Ada yang tampak memperbaiki perahu mereka, tetapi ada juga yang membuat perahu baru karena mereka memang belum memiliki satu perahu pun.

Ketika penghuni pulau lain tampak sibuk mempersiapkan penyelamatan mereka, CINTA tampak tenang-tenang saja. Dan ketika perasaan-perasaan lain bergegas meninggalkan pulau itu bersama keuarga mereka, CINTA memutuskan untuk tetap berada di sana. ”Aku ingin bertahan di sini dan berupaya menyelamatkan pulau ini sampai titik darah penghabisan,” tekad CINTA dalam hatinya.

Ternyata benar juga prediksi para ahli itu. Di hari kelima belas, bulan kesepuluh, tahun kedua puluh sejak pulau itu didiami, sebuah gempa bumi disertai tsunami memecah keheningan malam. Terjadi goncangan amat hebat. Air mulai bergerak naik dan pulau itu pun perlahan-lahan tenggelam. Menyadari dirinya dalam bahaya, CINTA pun mulai berteriak meminta pertolongan. Mengingat penghuni pulau lainnya telah meninggalkan pulau itu, teriakan CINTA tampaknya sia-sia. Apakah CINTA akan mati tenggelam bersama pulau yang terlanjur dicintainya itu?
Tunggu dulu. Ketika gelombang tsunami mulai reda dan cinta masih bertahan hidup di sebatang pohon yang kebetulan belum ikut tenggelam, tiba-tiba ada sebuah kapal besar berlayar mendekat. ”Wah, beruntunglah aku,” gumam CINTA dalam hatinya. Aku akan segera meminta pertolongan dari kapal itu.

Ternyata kapal itu adalah milik seseorang bernama KEKAYAAN. Tampak kapal itu sangat besar dan mewah. Sambil melambaikan tangan, CINTA berteriak, katanya, ”Hei KEKAYAAN, tolonglah aku. Izinkan saya menumpang dikapalmu!”
Sambil berdiri di buritan kapal, KEKAYAAN menjawab, “Tidak, saya tidak bisa… . Ada banyak sekali emas dan perak dalam kapal ini. Maaf, tidak ada tempat buat kamu.” KEKAYAAN pun berlalu.

Tidak lama berselang lewatlah kapal lainnya di hadapan CINTA. Kali ini kapal tersebut mengangkut seorang penumpang, pemilik kapal itu sendiri. Namanya ANGKUH. Dia tampak mewah dalam kebesaran pakaiannya. Melihat si Angkuh lewat, Cinta pun berteriak, katanya, ”Hei ANGKUH, bantu aku, dong!”
“Maaf Cinta, aku tidak bisa bantu kamu. Badan kamu dalam keadaan basah semuanya sehingga kamu bisa merusak perahu saya,“ jawab si Angkuh.

CINTA tidak patah semangat karena berharap ada kapal lain yang akan membantu dia. Benar juga. Tidak lama kemudian KESEDIHAN berlayar melewati pulai yang dihuni CINTA. Mengingat kesempatannya tidak banyak lagi, CINTA pun berteriak sekeras-kerasnya, katanya, ”KESEDIHAN, tolong bantu aku, dong!”
“Oh … Cinta, saya sangat sedih karena tidak bisa menolong kamu. Saat ini saya ingin menjadi diriku sendiri dan tidak mau diganggu oleh orang lain,” jawab KESEDIHAN.
KEBAHAGIAAN juga melewati pulau itu, tetapi tidak mendengar sedikit pun suara teriakan CINTA karena dia sedang terhanyut dan tenggelam dalam kebahagiaannya sendiri.

Kali ini CINTA benar-benar putus harapan. Hari sudah mulai sore dan sudah agak lama tidak ada lagi perahu yang berlayar dekat pulau itu. ”Mungkin inilah takdirku. Aku harus menerima kenyataan bahwa kematianku tidak akan lama lagi datang. Biarlah aku mati saja di pulai ini,” kata CINTA dalam hatinya.

Dalam keadaan setengah melamun, tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan. Suara itu jelas sekali memanggil nama CINTA. “Kemarilah CINTA, kemarilah. Saya akan membawamu pergi.”

”Ada suara,” kata CINTA dalam hatinya. Suara dari seorang yang sudah lanjut usia. Menyadari bahwa dia tidak sedang bermimpi, CINTA pun melonjak kegirangan. ”Wah, keberuntungan akhirnya menghampiriku,” teriak si CINTA.

Demikianlah CINTA pun menumpang di perahu PAK TUA itu. Perlahan mereka meninggalkan pulau impian CINTA menuju sebuah daratan yang aman. Anehnya, terlanjur senang dan kegirangan karena terselamatkan dari bahaya bencana, CINTA lupa menanyakan nama PAK TUA itu. Demikianlah, ketika CINTA dan dan PAK TUA itu merapatkan perahu mereka di pantai dan menginjakkan kaki di daratan yang aman, CINTA dan PAK TUA melanjutkan perjalanan mereka ke arah yang berbeda. Beberapa saat kemudian CINTA baru menyadari bahwa dirinya lupa menanyakan nama dan alamat PAK TUA itu. Tetapi apalah daya, PAK TUA itu sudah tidak tampak batang hidungnya.

”Orang tua itu baik sekali… . Terima kasih Tuhan, Engkau sudah menolong aku dengan mengirim orang yang bisa tepat pada waktu yang tepat pula!” bisik CINTA kepada Tuhannya. Tiba-tiba CINTA sadar bahwa dia berada di sebuah pulau yang sebenarnya tidak asing bagi dia. CINTA pernah ke pulau ini ketika beberapa tahun lalu dia mengunjungi seorang sahabatnya. Nama sahabat itu PENGETAHUAN. Maka segeralah CINTA mencari PENGETAHUAN untuk menanyakan apakah dia kenal PAK TUA yang telah menyelamatkannya itu. CINTA pun bertanya kepada PENGETAHUAN, “Hai PENGETAHUAN, kamu tahu gak, siapa sih PAK TUA yang tadi membantu menyelamatkan saya?”
Sambil mengangguk-anggukkan kepala, PENGETAHUAN menjawab, katanya, “Wah CINTA, kamu beruntung banget. Orang yang menolong kamu itu memang orang baik dan sangat terkenal di pulau ini. Masyarakat di pulau ini memanggil dia WAKTU.”
“WAKTU?” tanya si Cinta. “Kira-kira mengapa WAKTU mau membantu saya?”
Mendengar itu, PENGETAHUAN pun tersenyum. Sambil menepuk pundak CINTA, PENGETAHUAN menjawab kegundahan hati sahabatnya, katanya, ”Sahabatku, hanya WAKTU yang mampu memahami seberapa besarnya CINTA itu.”

”Hanya WAKTU yang mampu memahami seberapa besarnya CINTA,” ulang CINTA dalam hatinya.

Kamis, 04 November 2010

Kasih Sayang Orang Ayah


Selamat hari Ibu!! Ya, hari ini 22 Desember 2009, Dunia memperingatinya sebagai hari ibu.. Ibu, Mama, Emak, Mami, Bunda, Umi atau apapun istilahnya harusnya menjadi sosok yang paling kita hormati, kita sayangi, mengingat begitu besarnya cinta dan kasihnya dalam merawat kita dari kita masih kecil hingga dewasa… Tak ada yang bisa kita lakukan untuk bisa membayar lunas setiap tetes keringatnya, tulus do’anya, sabar hatinya.. Saya memiliki cerita yang sungguh luar biasa tentang ibu kita… Bergetar hati saya ketika membaca cerita tentang ibu ini… Sungguh inspiratif…
Tapi kenapa disini saya tulis father’s story?? Bukankah seharusnya mother’s story?? Ya.. dihari Ibu ini, kita memang diajak untuk mengingat, mengenang, dan berterima kasih kepada Ibu kita.. Namun.. saya rasa bukan berarti kita lantas mengenyampingkan peran ayah kita..
Hmmm…Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..
Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.
Lalu bagaimana dengan Papa?
Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari,
tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?
Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng,tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil……
papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda.
Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu…
Kemudian Mama bilang : “Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya” ,
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka….
Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba.
Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang”
Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.
Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.
Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja….
Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”.
Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu?
Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga..
Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…
Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama….
Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.
Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir…
Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut…
Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .
Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang?
“Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa”
Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur.
Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti…
Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa
Ketika kamu menjadi gadis dewasa….
Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain…
Papa harus melepasmu di bandara.
Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu?
Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .
Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.
Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”.
Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT…kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa.
Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.
Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan…
Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : “Tidak…. Tidak bisa!”
Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu”.
Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.
Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”
Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya.
Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Papa tahu…..
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
dan akhirnya….
Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia….
Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?
Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa….
Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: “Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik….
Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik….
Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”
Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…
Dengan rambut yang telah dan semakin memutih….
Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya….
Papa telah menyelesaikan tugasnya….
Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita…
Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…
Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…
Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal..
Ya… sosok ayah yang sudah 2 tahun ini meninggalkan saya.. Yang begitu saya rindukan sosoknya.. Membaca cerita ini, ingatan saya kembali ke 20 tahun lalu, saat masih ada Papa disamping saya, yang ada untuk menguatkan saya, menasehati saya, menyayangi saya.. dan membesarkan saya… Namun satu hal yang saya sesali.. Ayah saya belum sempat melihat hasil jerih payahnya dalam membesarkan saya dan adik saya.. Tuhan telah memanggilnya terlebih dahulu..
Semoga kisah ini, bisa menginspirasi teman – teman… Berterima kasih dan berbaktilah kepada ayah dan ibumu selagi sempat.. Buatlah mereka bahagia.. selagi sempat.. Karena kita tak tahu kapan Tuhan memanggil mereka…
Baiklah… semoga cerita ini bisa menginspirasi teman – teman…
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(QS Al Lukman 13- 14)

Rabu, 03 November 2010

JEMBATAN


Alasan utama mengapa harus mengampuni adalah demi kebaikan diri sendiri.

Alkisah ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah mengapa, mereka terjebak ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah kali pertama mereka bertengkar demikian hebatnya. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan, saling meminjamkan peralatan pertanian. Keduanya pun bahu-membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerjasama yang akrab itu kini retak.
Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele,  kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar, dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki.Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.
Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk pintu rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu. “Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan,” kata pria itu dengan ramah. “Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan.”
“Oh ya!” jawab sang kakak. “Saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan bulldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami.”
Sang kakak masih melanjutnya, “Hmm, barangkali adikku melakukan itu untuk mengejekku, Tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya.”
Kata tukang kayu itu, “Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan aku kerjakan sesuatu yang bisa membuat tuan merasa senang.”
Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu. Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya.
Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi. Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar. “Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku?” kata sang
adik pada kakaknya.
Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan. Keduanya saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi. “Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu,” pinta sang kakak.
“Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini,” jawab tukang kayu, “tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan.”
Kedua kakak beradik itu pun mengangguk setuju. Dengan mata berkaca-kaca kedua kakak beradik itu melihat sang tukang kayu beranjak pergi, menjauh, dan perlahan tak kelihatan lagi.
Moral Story
Tuhan selalu ingin bersama kita. Dalam damai sejahtera Ia selalu ingin mempersatukan hati kita. Dia selalu ingin kita mengasihi sesama kita, saudara kita, dan siapa pun juga. Tuhan memang menginginkan agar kita saling mengasihi sesama kita, saudara kita. Apakah kita sungguh yakin dan percaya bahwa Dia adalah yang mempersatukan kita, dan menumbuhkan rasa saling cinta dalam diri untuk mengasihi sesama kita.

Senin, 01 November 2010

MENERIMA TANPA SYARAT

Mungkin terlalu sering kita berbicara mengenai menerima orang lain apa adanya sampai kita sendiri lupa bagaimana mempraktikkan apa yang kita omongkan.

Ternyata tidak mudah menerima orang lain apa adanya, apalagi keadaan orang lain itu jauh dari yang kita bayangkan. Apakah kita sanggup menerima orang yang dikelompokkan sebagai miskin, gelandangan, pengemis, ketika de facto mereka berada di hadapan kita? Ketika de facto mereka mengetuk hati kita, menatap mata kita dan meminta belas kasihan? Seorang ibu memiliki pengalaman amat unik yang ingin dia bagikan ke kita. Saya menerjemahkannya secara bebas untuk rekan-rekan pembaca.

Aku seorang ibu dari tiga orang anak. Panggil saja aku Lea. Selain sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keperluan sehari-hari suamiku Toni, putra tertuaku Kevin (14 tahun), Sander (12 tahun), dan putriku Charlote (3 tahun), aku diizinkan suamiku untuk melanjutkan kuliah S-1 yang nyaris selesai sebelum kami menikah. Syukur kepada Tuhan, baru beberapa bulan lalu aku menyelesaikan studi Strata Satu Sosiologi di sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini.

Bagiku pengalaman selama kuliah selalu menjadi momen pembelajaran yang sungguh luar biasa. Saya selalu mengenang tantangan yang diberikan dosen sosiologi, Bapak Patrick, yang pada masa saya kuliah Beliau sedang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “proyek senyum”. Apakah proyek ini sebenarnya? Suatu hari Pak Patrick menugaskan kami sekelas untuk menjalankan proyek ini dengan instruksi bahwa kami harus bertemu dengan paling kurang tiga orang, memberikan senyuman kepada mereka, dan kemudian mencatat apa reaksi mereka terhadap senyuman kami. Karena saya seorang yang ramah dan murah senyum, saya pikir tugas ini tidak akan sulit saya laksanakan.
Segera setelah kuliah usai, saya bergegas menuju ke rumah kami yang jaraknya tidak lebih dari 30 menit naik kendaraan umum dari depan kampus. Keesokan harinya, ketika saya, suami dan ketiga anak-anak kami sedang berjalan santai ke salah satu pusat perbelanjaan, saya pikir bagus juga kalau hari itu saya merealisasikan “proyek senyum” tersebut. Ketika saya menanyakan hal itu ke suamiku, dia mengiyakan, bahkan suami bersedia merekam apa reaksi orang terhadap senyumanku kepada mereka. Kami memutuskan untuk merealisasikan “proyek senyum” ini ketika kami akan makan siang di sebuah restoran cepat saji di ujung jalan itu.

Kami sekeluarga segera memasuki restoran asal negeri Paman Sam tersebut dan langsung antri. Ternyata sudah banyak orang yang mengantri menunggu giliran dilayani. Ketika kami mulai mendekati tempat pelayan restoran, tiba-tiba saya melihat orang-orang yang berbaris di belakangku, termasuk suamiku, berbalik badan dan bergerak menjauhi antrian. “Ada apa sih? Koq pada bubar semua?” Tiba-tiba saja ketika mata saya mengamati pergerakan orang-orang yang meninggalkan antrian, saya mencium bau badan yang sangat tajam, seperti bau orang yang lama tidak mandi. “Huum, bau apakah itu?” selidikku dalam hati. Betapa terkejutnya saya ketika melihat persis di belakangku dua anak jalanan dengan pakaian yang sangat kotor dan menjijikkan. Rupanya bau badan kedua bocah ini yang telah “mengusir” sebagian pengunjung restoran cepat saji itu. Ketika mataku menatap bocah yang lebih pendek dan yang paling dekat denganku, anak laki-laki itu tersenyum kepadaku. Aku melihat betapa matanya yang bening dan bersih itu seakan-akan bersinar penuh kedamaian. Mata itu begitu indah, jauh dari perasaan takut atau kegelisahan. Tampaknya hanya satu hal yang ingin dicari mata itu, agar dia diterima.

Eh, tiba-tiba perkataannya membuyarkan pikiranku, katanya, “Hari yang baik, Bu!” Sambil berkata begitu, tangannya terus memainkan beberapa keping koin yang dia genggam, sepertinya dia menghitung koin-koin tersebut. Anak muda yang masih remaja itu membawa serta seorang sahabatnya, sesama anak jalanan yang tampaknya menderita keterbelakangan mental. Praktis temannya yang sehat telah menjadi semacam penyelamat bagi hidupnya. Ke mana pun mereka selalu berdua.

Menyadari kehadiran kedua bocah jalanan itu, pelayan restoran segera menanyakan apa yang mereka inginkan. Bocah yang sehat itu berkata, “Dua gelas kopi sudah cukup bagi kami, Nona!” Hanya itu yang bisa mereka beli sekaligus mendapat kesempatan untuk menghangatkan diri dalam restoran tersebut, mengingat suhu udara sangat dingin di luar. Menyaksikan hal ini, tiba-tiba perasaan bingung dan rasa belaskasihan berkecamuk kuat dalam diriku. Hampir saja saya meraih dan memeluk kedua bocah itu ketika saya melihat reaksi ketidaksenangan orang-orang yang ada di restoran tersebut. Mereka semua sedang menatapku seakan-akan mengatakan kepada saya untuk tidak melakukan hal yang mereka anggap konyol, yakni memeluk atau sekadar membantu kedua anak jalanan ini.

Setelah menerima kopi dua gelas dan membayar dengan uang recehan yang mungkin mereka dapatkan dari mengamen atau meminta-minta, kedua bocah itu segera duduk di meja paling ujung dan mulai menikmati hangatnya kopi. Ketika giliran saya tiba untuk dilayani petugas restoran, saya meminta mereka untuk menambah dua porsi lagi di tempat terpisah selain lima porsi yang saya pesan untuk aku, suami, dan anak-anakku. Saya meminta suami membawa lima porsi untuk kami ke meja yang telah disediakan, sementara saya membawa dua porsi ekstra, berjalan perlahan ke meja di mana kedua bocah jalanan itu duduk. Setelah meletakkan dua porsi makan pagi di atas meja, saya meraih tangan bocah yang tadi menatapku, menyapanya dengan salah satu senyuman terindah dari bibirku. Kopi hangat yang nyaris selesai mereka minum ternyata tidak sanggup menghangatkan tangan kotor itu begitu dingin. Sekali lagi anak muda itu menatapku, tetapi kali ini dengan air mata yang mengalir perlahan membasahi pipinya. Dengan suara terbata-bata dia berkata kepadaku, “Mum, terima kasih!” Saya mendekatkan tubuhku ke arahnya, menggenggam erat kedua tangannya dan berkata, “Saya tidak melakukan ini untukmu…. Tuhan sedang hadir di restoran ini, dan melalui saya Dia ingin memberikan sebuah pengarapan kepada kamu.” Setelah berkata demikian, saya tidak mampu lagi menahan air mataku, dan mulai menangis. Saya pun berbalik ke meja di mana suami dan anak-anakku tidak sabaran menunggu.

Ketika saya mulai duduk di meja tempat suami dan anak-anakku berada, suamiku tersenyum kepadaku dan berkata, “Sekarang saya tahu mengapa Tuhan menghadiahkan kamu kepadaku, sayangku, supaya kamu memberi aku sebuah pengharapan.” Saya masih menghela nafas karena menahan tangis ketika suamiku mulai menggenggam tanganku. Tiba-tiba saja keheningan dan ketenangan menghampiri kami. Saat itulah aku mengerti dengan baik, bahwa Rahmat Tuhan sungguh berlimpah. Dia sudah memberikan Rahmat itu kepadaku dan keluargaku, dan kini melalui kamilah Rahmat dan pengharapan itu harus dibagikan. Itulah pengalaman cinta yang paling menawan yang boleh aku alami, yakni ketika aku melihat kehadiran-Nya dalam sorot mata dan senyum yang diberikan bocah pengemis itu. Tuhan telah menunjukkan aku jalan dan terang-Nya untuk semakin mengasihi keluarga dan orang lain sama seperti aku mengasihi diriku sendiri.

Bagaimana dengan “proyek senyum” yang diberikan dosen sosiologi kepadaku? Saya kembali keesokan harinya, dan menyerahkan kisah yang aku alami ini sebagai hasil “temuanku”. Ketika membaca kisah pengalamanku ini, dosen bertanya, “Apakah saya bisa membagikan kisah ini juga kepada teman-temanmu?” Saya mengangguk perlahan, dan dosen pun mulai membacakan apa yang saya kisahkan. Tentu teman-temanku sangat takjub dengan kisah yang saya tulis tersebut. Tetapi lebih dari itu, saya semakin mengerti bahwa sebagai manusia dan mitra Tuhan, kita semua harus berani membagikan pengalaman-pengalaman ketika kita disentuh dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dan bahwa pengalaman-pengalaman itu tidak saja menguatkan iman, tetapi juga menyembuhkan, dan memberi pengharapan akan hidup yang lebih baik. Melalui saya, Tuhan telah mengunjungi suamiku, anak-anakku, dan anak-anak jalanan yang saya jumpai di restoran cepat saji itu.

Saya lulus dengan nilai yang memuaskan, tetapi lebih dari itu, saya telah memahami sebuah “mata kuliah” yang sangat besar yang tidak akan pernah saya lupakan dalam hidupku: MENERIMA SIAPA PUN JUGA TANPA SYARAT. @by: Tidak Diketahui

Rabu, 27 Oktober 2010

Aku Ingin Mama Kembali

Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa.

Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya.

Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27
Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.

Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini.Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.

Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikianungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.
ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit.

Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari. Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan ijeksi/suntikan kepada pasiennya.
Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.

Aku Mau Mama Kembali
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab.

apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap. Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup
untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.

Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam mensiasati kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai kemampuan dan kekuatan yg
istimewa untuk menjalani ujian di dunia. Sehebat apapun ujian yg dihadapi pasti ada jalan keluarnya…ditiap-tiap kesulitan ada kemudahan dan Tuhan tidak akan menimpakan kesulitan diluar kemampuan umat-Nya.

Jadi janganlah menyerah dengan keadaan, jika sekarang sedang kurang beruntung, sedang mengalami kekalahan….bangkitlah! karena sesungguhnya kemenangan akan diberikan kepada siapa saja yg telah berusaha sekuat kemampuannya.

Hidup Untuk Memberi

Disuatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan disebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta .
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari Tukang koran , Penyapu jalan, Tuna wisma sampai Pak polisi.

Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? “kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai disebrang jalan , setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang. De, “boleh kakak bertanya” ? silahkan kak, kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?, oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak, memang kenapa kak!, dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya. Oh.. tidak! , kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka? Lalu ,
Adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu ! aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma ”,setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan, apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibu ku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik.
Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu , jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.

Yang ibu ku selalu katakan “ hidup harus berarti buat banyak orang “, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita , kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda.

Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta,” Apa yang kita bawa”?. Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati ku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini.
Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Yah.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.

Hanya Kasih yang sempurna serta Iman dan Pengharapan kepada Mu lah yang dapat mengiringiku masuk keSurga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyak ku.
(Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.)

Lakukanlah perkara-perkara kecil, dengan membagikan cerita ini kepada semua orang, semoga hasil yang didapat dari hal yang kecil ini berdampak besar buat banyak orang.
Thomas – 26/7/08

Minggu, 24 Oktober 2010

Kisah Cinta Seorang Anak..


Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,
wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,
memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini
memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain
saja.

Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya
membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya
menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga
Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan
membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa
stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu
melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal
dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi
semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya
mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya
pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang
sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya
tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar
hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak
kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat
buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah
berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah
perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi
yang mengingatnya.

Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti
sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari
betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Eric melintas
kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric. Sore
itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad
dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang
sebenarnya terjadi?”

“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis
saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.
Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric…

Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali
potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan
Eric sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap
sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala
ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal
dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”

Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10
tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus
menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega,
saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.
Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah,
namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan
yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis
setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…

“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama
Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji
kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”

Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”

Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric
telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya
sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan
di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya
ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari
belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang
lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”

Cinta Tanpa Syarat


Dikisahkan, ada sebuah keluarga besar. Kakek dan nenek mereka merupakan pasangan suami istri yang tampak serasi dan selalu harmonis satu sama lain. Suatu hari, saat berkumpul bersama, si cucu bertanya kepada mereka berdua, "Kakek nenek, tolong beritahu kepada kami resep akur dan cara kakek dan nenek mempertahan cinta selama ini agar kami yang muda-muda bisa belajar."

Mendengar pertanyaan itu, sesaat kakek dan nenek beradu pandang sambil saling melempar senyum. Dari tatapan keduanya, terpancar rasa kasih yang mendalam di antara mereka. "Aha, nenek yang akan bercerita dan menjawab pertanyaan kalian," kata kakek.

Sambil menerawang ke masa lalu, nenek pun memulai kisahnya. "Ini pengalaman kakek dan nenek yang tak mungkin terlupakan dan rasanya perlu kalian dengar dengan baik. Suatu hari, kami berdua terlibat obrolan tentang sebuah artikel di majalah yang berjudul ‘bagaimana memperkuat tali pernikahan'. Di sana dituliskan, masing-masing dari kita diminta mencatat hal-hal yang kurang disukai dari pasangan kita. Kemudian, dibahas cara untuk mengubahnya agar ikatan tali pernikahan bisa lebih kuat dan bahagia. Nah, malam itu, kami sepakat berpisah kamar dan mencatat apa saja yang tidak disukai. Esoknya, selesai sarapan, nenek memulai lebih dulu membacakan daftar dosa kakekmu sepanjang kurang lebih tiga halaman. Kalau dipikir-pikir, ternyata banyak juga, dan herannya lagi, sebegitu banyak yang tidak disukai, tetapi tetap saja kakek kalian menjadi suami tercinta nenekmu ini," kata nenek sambil tertawa. Mata tuanya tampak berkaca-kaca mengenang kembali saat itu.

Lalu nenek melanjutkan, "Nenek membacanya hingga selesai dan kelelahan. Dan, sekarang giliran kakekmu yang melanjutakan bercerita." Dengan suara perlahan, si kakek meneruskan. "Pagi itu, kakek membawa kertas juga, tetapi....kosong. Kakek tidak mencatat sesuatu pun di kertas itu. Kakek merasa nenekmu adalah wanita yang kakek cintai apa adanya, kakek tidak ingin mengubahnya sedikit pun. Nenekmu cantik, baik hati, dan mau menikahi kakekmu ini, itu sudah lebih dari cukup bagi kakek."

Nenek segera menimpali, "Nenek sungguh sangat tersentuh oleh pernyataan kakekmu itu sehingga sejak saat itu, tidak ada masalah atau sesuatu apapun yang cukup besar yang dapat menyebabkan kami bertengkar dan mengurangi perasaan cinta kami berdua."
@by Andrie Wongso

Jumat, 22 Oktober 2010

Pelajaran hidup di Stasiun Jatinegara

Ketika pulang tugas audit dari surabaya Kereta Argo angrek yang saya tumpangi dari Stasiun Pasar turi surabaya perlahan-lahan memasuki stasiun Jatinegara. Para penumpang yang akan turun di Jatinegara saya lihat sudah bersiap-siap di depan pintu, karena sudah di jemput oleh keluarga. suasana jatinegara penuh sesak seperti biasa.

Sementara itu, dari jendela, saya lihat beberapa orang porter/buruh angkut berlomba lebih dulu masuk ke kereta yang masih melaju. Mereka berpacu dengan kereta, persis dengan kehidupan mereka yang terus berpacu dengan tekanan kehidupan kota Jakarta. Saat kereta benar-benar berhenti, kesibukan penumpang yang turun dan porter yang berebut menawarkan jasa kian kental terasa. Sementara di luar kereta saya lihat kesibukan kaum urban yang akan menggunakan kereta. Mereka kebanyakan berdiri,karena fasilitas tempat duduk kurang memadai. Sebuah lagu lama PT. KAI yang selalu dan selalu diputar dengan setia.
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil membuyarkan keasyikan saya mengamati perilaku orang-orang di Jatinegara. Saya lihat seorang bocah berumur sekitar 10 tahun berdiri disamping saya. Kondisi fisiknya menggambarkan tekanan kehidupan yang berat baginya.
Kulitnya hitam dekil dengan baju kumal dan robek-robek disana-sini. Tubuhnya kurus kering tanda kurang gizi. “Ya?” Tanya saya kepada anak itu karena saya tadi konsentrasi saya melihat orang-orang di luar kereta. “Maaf, apakah air minum itu sudah tidak bapak butuhkan ?” katanya dengan penuh sopan sambil jarinya menunjuk air minum di atas tempat makanan dan minum samping jendela. Pandangan saya segera mengikuti arah telunjuk si bocah. Oh, air minum dalam kemasan gelas dari katering kereta yang tidak saya minum. Saya bahkan sudah tidak peduli sama sekali dengan air itu. Semalam saya hanya minta air minum dalam kemasan gelas untuk jaga-jaga dan menolak nasi yang diberikan oleh pramugara. Perut saya sudah cukup terisi dengan makan di rumah.

“Tidak. Mau ? Nih…” kata saya sambil memberikan air minum kemasan gelas kepada bocah itu. Diterimanya air itu dengan senyum simpul. Senyum yang tulus.
Beberapa menit kemudian, saya lihat dari balik jendela kereta, bocah tadi berjalan beririringan dengan 3 orang temannya. Masing-masing membawa tas kresek di tangannya. Ke empat anak itu kemudian duduk melingkar dilantai emplasemen. Mereka duduk begitu saja. Mereka tidak repot-repot membersihkan lantai yang terlihat kotor. Masing- masing kemudian mengeluarkan isi tas kresek masing-masing.
Setelah saya perhatikan, rupanya isinya adalah “harta karun” yang mereka temukan di atas kereta. Saya lihat ada roti yang tinggal separoh, jeruk medan, juga separuh; sisa nasi catering kereta, dan air minum dalam kemasan gelas !
Selanjutnya dengan rukun mereka saling berbagi “harta karun” temuan mereka dari kereta. Saya lihat bocah paling besar menciumi nasi bekas catering kereta untuk memastikan apakah sudah basi atau belum. Tanpa menyentuh sisa makanan, kotak nasi itu kemudian disodorkan pada temannya. Oleh temannya, nasi sisa tersebut juga dibaui. Kemudian, dia tertawa dengan penuh gembira sambil mengangkat tinggi-tinggi sepotong paha ayam goreng. Saya lihat, paha ayam goreng itu sudah tidak utuh. Nampak jelas bekas gigitan seseorang.
Tapi si bocah tidak peduli, dengan lahap paha ayam itu dimakannya. Demikian juga makanan sisa lainnya. Mereka makan dengan penuh lahap. Sungguh, sebuah “pesta” yang luar biasa. Pesta kemudian diakhiri dengan berbagi air minum dalam kemasan gelas !
Menyaksikan itu semua, saya jadi tertegun. Saya lihat sendiri persis di depan mata, potret anak-anak kurang beruntung yang mencoba bertahan dari kerasnya kehidupan. Nampaknya hidup mereka adalah apa yang mereka peroleh hari itu. Hidup adalah hari ini. Esok adalah mimpi dan misteri.

Cita-cita ?
Masa Depan ? Lebih absurd lagi. Bagi saya pribadi, pelajaran berharga yang saya petik adalah, bahwa saya harus makin pandai bersyukur atas segala rejeki dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Dan tidak lagi memandang sepele hal yang nampak sepele, seperti misalnya: air minum kemasan gelas. Karena bisa jadi sesuatu yang bagi kita sepele, bagi orang lain sangat berarti.
@Gani

Rabu, 20 Oktober 2010

Si Tukang Kayu dan Rumahnya

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidaksepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta.

Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia
menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. “Ini adalah rumahmu, ”katanya, “hadiah dari kami.”

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.

Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.
Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akanmasuk dalam barisan kemenangan.

Pojok Renungan:
“Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri”. (Adapted from The Builder -
Cecilia Attal)

Senin, 18 Oktober 2010

PATUTKAH AKU MENGELUH?

Saya teringat pengalaman waktu lalu, waktu saya belum menerima kebutaan sebagai Berkat Tuhan. Karena sering mengalami hal-hal yang saya anggap menyakitkan baik fisik maupun mental dari minimnya ketajaman mata ini (yang sebenarnya hadiah dari Tuhan juga ), maka saya sering "protes" kepadaNya dan diiringi dengan keluhan pada diri sendiri dan hidup.

Hingga pada suatu hari Tuhan mengirimkan seseorang yang menyadarkan pada saya, betapa saya harus banyak bersukur, betapa saya tak pantas untuk mengeluh. Dia seorang perempuan 21 Tahun, sebut saja namanya "Bela" (bukan nama asli ). Bela datang pada saya bersama suster pedampingnya untuk belajar huruf braille. Yang membuat saya merasa kecil dan harus bersyukur adalah; Bela (akibat kecelakaan) bukan hanya buta, ia juga pengguna kursi roda, kedua tangannya baal
(saya lupa istilah kedokterannya, semacam kehilangan rasa bila memegang sesuatu benda). Padahal syarat utama untuk mengenal huruf timbul itu adalah kepekaan jari-jari kita. namun demikian, semangatnya untuk belajar huruf braille melebihi kekerasan baja sekalipun.

Beberapa bulan kemudian, Ibunda Bela datang kepada saya dan menceritakan semangat Bela sambil menitikan air matanya. "Ibu tak melarang dia terus belajar huruf Braille, tapi Ibu tak sampai hati melihat caranya belajar", begitulah kata Ibu Bela yang saya ingat. "memangnya bagaimana cara dia belajar Bu", tanya saya.

Ibu Bela bercerita bahwa dia sering melihat Bela dikamarnya sedang menciumi kertas timbul. Mula-mula Ibu Bela menyangka bahwa Bela sedang membaui kertas itu. Kebiasaan itu berlangsung beberapa hari, hingga akhirnya Ibu Bela mengetahuinya. "Karena Bela sulit sekali menggunakan jarinya untuk belajar huruf braille, maka dia menggunakan bibirnya sebagai alat peraba", Ibu Bela menjelaskan sambil terbata-bata.

Sungguh perempuan yang luar biasa. Saya malu pada Bela, pada diri sendiri dan Tuhan. Dalam keadaan yang semacam itu, Bela tak pernah mengeluh. Bahkan dia sering berkumpul dengan teman-teman berkursi rodanya dibeberapa rumah makan. Dia menjalani hidup dengan penuh sahaja. "Patutkah saya mengeluh", dalam hati saya. Saya masih ada kaki yang dapat berjalan, masih ada jari-jemari yang dapat membaca huruf braillle, masih dapat menuliskan dan mengirimkan email ini secara mandiri.


Teman-teman tercinta, kita akan segera keluar dari "perasaan" sengsara, mederita, sakit dlll, bila kita bisa bersyukur. bisa menerima diri kita apa adanya. Semoga demikianlah juga teman-teman semua. Jadi, bila teman-teman kesulitan untuk mengerti dan memahami sebuah buku setelah membacanya, janganlah mengeluh. Teruslah bersuyukur, karena masih ada seorang teman milis seperti saya yang untuk membaca buku saja harus melampaui beberapa tahapan;
(1)Buku dalam bentuk hard-copy discaning menjadi soft-file. hal ini bisa berlangsung berhari-hari, tergantung tebal tipisnya halaman.
(2) Setelah di edit di komputer, dokumen tadi di conversi kedalam huruf braille.
(3) Tahap akhir dicetak dengan embosser (printer braille) dengan menggunakan kertas yang ketebalannya minimal 120gram.

Apa pun yang menimpa kondisimu saat ini, tak menjadi masalah. Ketika engkau terbangun dari tidurmu, syukurilah, karena engkau masih dapat melihat indahnya warna-warni hiasan dan benda dikamarmu. Ingatlah saat yang sama teman-teman kita di Mitranetra, mereka tetap tersenyum walaupun seumur hidup mereka (beberapa orang) tak pernah melihat seberkas cahaya sekalipun dan tak pernah mengenal warna-warni seperti anda semua.

Teman-teman, Cintailah dirimu sendiri, yang ada padamu sekarang, adalah yang terbaik dalam rancanganNya, salam

Irwan Dwi Kustanto
Direktur Yayasan Mitra Netra

Rudi Muliyono (Momo), C.Ht. - QHI
Certified-Client Centered Counselor & One Session Cleared Therapist